CONTOH KASUS PERDATA & PERIKATAN

NAMA   : ATIKA HENI P.

NPM      : 21216178

KELAS    : 2EB18


1.       KASUS PERDATA

Konflik yang terjadi antara PT. Metro Batavia dengan PT. Garuda Maintenance Facility Aero Asia merupakan salah satu contoh kasus wanprestasi. Kasus ini bermula ketika GMF memberikan biaya jasa kepada Batavia Air, seperti menambah angin ban dan penggantian oli pesawat. Sampai pada akhirnya, Batavia Air tidak juga melunasi biaya perawatan pesawat yang telah jatuh tempo sejak awal tahun 2008.GMF menuding Batavia telah melakukan wanprestasi sampai jatuh tempo. Total nilai utang yang seharusnya dilunasi oleh Batavia Air adalah sebesar 1,192 juta dollar AS.

Untuk menyelesaikan penagihan utang tersebut, GMF telah mengajukan gugatan perdata terhadap Batavia melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 25 September 2008. Pada tanggal 4 Maret 2009 lalu, untuk pertama kalinya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan permohonan sita jaminan terhadap pesawat terbang milik Batavia dengan surat penetapan sita jaminan Nomor 335/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst. GMF menyita ketujuh pesawat Batavia yang merupakan pesawat Boeing 737-200 dengan tujuh nomor seri dan nomor registrasi yang berbeda. Agar gugatan tidak sia-sia, permohonan sita jaminan diajukan agar selama perkara berlangsung Batavia tidak memindahtangankan atau memperjualbelikan asetnya.Ketujuh pesawat Batavia berstatus sita jaminan sampai kewajibannya dilunasi.Batavia juga dihukum membayar sisa tagihan kepada GMF atas biaya penggantian dan perbaikan mesin bearing pesawat Batavia.Maskapai

penerbangan itu terbukti melakukan wanprestasi terhadap pembayaran utang sebesar AS$ 256.266 plus bunga 6 persen per tahun terhitung sejak 17 November 2007.Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga menolak seluruh gugatan yang diajukan PT Metro Batavia terhadap GMF AeroAsia dalam perkara kerusakan dua engine berkode ESN 857854 dan ESN 724662.Keputusan ini dibacakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 11 Maret 2009.

Meski ketujuh pesawat Batavia disita, pesawat Batavia masih bisa beroperasi selama masa sitaan di wilayah Indonesia.Karena apabila pesawat berada di luar negeri, pengadilan negeri tidak memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi.Hal itu untuk menjaga kepentingan transportasi umum tetap terlayani. Izin operasional ini masuk dalam penetapan sita jaminan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 335/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst tertanggal 4 Maret 2009 yang diumumkan kuasa hukum Garuda, Adnan Buyung Nasution. Dalam hal ini berdasarkan Pasal 227 HIR dan Pasal 1131 KUHPerdata, semua jenis atau bentuk harta kekayaan debitur, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, menjadi tanggungan atau jaminan untuk segala utang debitur. Sita jaminan hanya dilarang terhadap hewan dan barang yang bisa digunakan untuk menjalankan pencaharian debitur.Pesawat terbang bisa dijadikan objek sita jaminan.Pesawat tidak dikategorikan sebagai barang yang diatur dalam Pasal 196 HIR, melainkan sebagai alat perdagangan.

Penetapan itu berbunyi, mengabulkan permohonan sita jaminan (conservatoir beslag) penggugat dengan batasan dan ketentuan sebagai berikut.Pertama, menyatakan pesawat-pesawat terbang dalam sitaan tersebut tetap dapat dioperasikan demi kepentingan pelayanan transportasi umum selama dalam sitaan.Kedua, menyatakan pesawat-pesawat terbang dalam sitaan tersebut hanya boleh dioperasikan terbatas dalam wilayah Negara Republik Indonesia selama dalam sitaan.Ketiga, memerintahkan termohon (Batavia Air) merawat pesawat-pesawat terbang dalam sitaan itu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dengan biaya yang dibebankan kepada termohon sita. Keempat, memerintahkan termohon untuk selalu melaporkan kepada Departemen Perhubungan cq Direkrorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara dan Pemohon atas setiap perubahan pada pesawat, termasuk tidak terbatas pada mesin pesawat udara dan auxiliary power unit (APU) dari pesawat yang disita. Kelima, memerintahkan termohon sita menghadirkan pesawat-pesawat terbang dalam sitaan tersebut di Bandara Soekarno-Hatta pada saat sita jaminan diletakkan oleh Pengadilan Negeri. Keenam, memerintahkan juru sita Pengadilan Negeri melaporkan sita jaminan atas pesawat-pesawat terbang yang telah diletakkan pada Departemen Perhubungan cq Direkrorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara. Ketujuh, memerintahkan juru sita Pengadilan Negeri yang melakukan sita jaminan pesawat terbang berkoordinasi dengan Departemen Perhubungan cq Direkrorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara dalam melakukan sita jaminan, terkait dengan identifikasi pesawat terbang dan status pesawat guna menghindari terjadinya peletakan sita jaminan dan eksekusi yang sia-sia. Kedelapan, memerintahkan termohon sita melaporkan segala perubahan barang tersita kepada Departemen Perhubungan cq Direkrorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara.

Batavia melaporkan penyitaan kepada Departemen Perhubungan supaya dicatat, atas pesawat yang disita ke Direktorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara Ditjen Pehubungan Udara Departemen Perhubungan.Pencatatan itu terkait dengan identifikasi dan status pesawat agar sita jaminan tidak sia-sia, termasuk setiap perubahan terhadap pesawat selama dalam masa sitaan.Selain itu, Batavia harus merawat pesawat sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.Majelis hakim membebankan biaya perawatan itu ke Batavia.

ANALISIS

Berdasarkan kasus wanprestasi antara PT. Metro Batavia dan PT. Garuda Maintanence Facility yang sudah dibahas sebelumnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan permohonan sita jaminan terhadap pesawat terbang milik Batavia dengan surat penetapan sita jaminan Nomor 335/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst. GMF menyita ketujuh pesawat Batavia yang merupakan pesawat Boeing 737-200 dengan tujuh nomor seri dan nomor registrasi yang berbeda. Yang menjadi pertanyaannya adalah, apakah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sesuai dengan penerapan Pasal 227 HIR, Pasal 1131 KUHPerdata dan Pasal 196 HIR?

Di dalam Pasal 227 HIR disebutkan bahwa “Jika ada sangka beralasan bahwa Tergugat akan menggelapkan atau memindahtangankan barang miliknya dengan maksud akan menjauhkan barang tersebut dari Penggugat, maka atas permohonan Penggugat Pengadilan dapat memerintahkan agar diletakkan sita atas barang tersebut untuk menjaga/menjamin hak Penggugat”.Isi pasal tersebut, sesuai dengan permohonan sita jaminan yang diajukan PT. GMF agar selama perkara berlangsung, Batavia tidak memindahtangankan atau memperjualbelikan asetnya.

Dalam hal ini, Penyitaan dalam sita jaminan bukan dimaksudkan untuk melelang, atau menjual barang yang disita , namun hanya disimpan oleh pengadilan dan tidak boleh dialihkan atau dijual oleh termohon/tergugat. Dengan adanya penyitaan, tergugat kehilangan kewenangannya untuk menguasai barang, sehingga seluruh tindakan tergugat untuk mengasingkan, atau mengalihkan barang-barang yang dikenakan sita tersebut adalah tidak sah dan merupakan tindak pidana.

Pasal 1311 KUHPerdata menyatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perserorangan. Pihak GMF sejak semula telah meminta kepada Batavia Air agar hartanya,  yaitu tujuh pesawat Batavia yang merupakan pesawat Boeing 737-200 dengan tujuh nomor seri dan nomor registrasi yang berbeda, secara khusus dijadikan jaminan pembayaran utang. Sehingga apabila dikemudian hari pada saat jatuh tempo PT. Batavia Air  tidak dapat menepati janjinya untuk membayar atau melunasi utangnya maka harta tergugat tersebut dapat dieksekusi oleh penggugat melalui prosedur tertentu.

Pasal 196 HIR menyatakan bahwa jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka fihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua, pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil fihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari.

Penjelasan: Biasanya pihak yang kalah itu dengan kemauan sendiri mematuhi isi keputusan hakim, akan tetapi apabila ia lalai atau tidak mau memenuhinya, maka pihak yang menang baik dengan lisan maupun dengan surat memajukan permintaan kepada pengadilan negeri yang telah memutus perkara itu, untuk melaksanakan keputusan tersebut. Ketua pengadilan kemudian menyuruh memanggil pihak yang kalah itu dan diberi ingat supaya dalam tempoh yang ditetapkan oleh ketua yang selama-lamanya delapan hari, memenuhi keputusan itu. Setelah lewat tempo yang ditetapkan itu dan yang kalah belum juga memenuhi perintah hakim, maka menurut pasal 167 hakim kemudian memerintahkan kepada Panitera untuk menyita barang-barang terangkat milik orang yang kalah sekira cukup untuk memenuhi tagihan uang dan biaya eksekusi.

Berdasarkan kasus wanprestasi yang dilakukan oleh PT. Batavia terhadap PT. GMF dan analisis kasus yang sesuai dengan Pasal 227 HIR, Pasal 1131 KUHPerdata dan Pasal 196 HIR, maka kami menyatakan bahwa kasus wanprestasi GMF terhadap Batavia dibenarkan untuk melakukan sita jaminan sampai Batavia dapat melunasi utangnya tersebut.

 

2.       KASUS PERIKATAN

Pada awal PT margo squre dibuka dan disewakan untuk pertokoan, pihak pengelola merasa kesulitan untuk memasarkannya.  Salah satu cara untuk memasarkannya adalah secara persuasif mengajak para pedagang  meramaikan komplek pertokoan di pusat kota Surabaya itu.  Salah seorang diantara pedagang yang menerima ajakan PT margo squre adalah bp ilham, yang tinggal di kemang,Jakarta.

Ilham memanfaatkan ruangan seluas 876,71 M2 Lantai I itu untuk menjual barang electronik.Empat bulan berlalu Ilham menempati ruangan itu, pengelola MS mengajak Ilham membuat “Perjanjian Sewa Menyewa” dihadapan Notaris.  Dua belah pihak bersepakat mengenai penggunaan ruangan, harga sewa, Service Charge, sanksi dan segala hal yang bersangkut paut dengan sewa menyewa ruangan.  Ilham bersedia membayar semua kewajibannya pada PT Margo squre, tiap bulan terhitung sejak Mei 1988 s/d 30 April 2010 paling lambat pembayaran disetorkan tanggal 10 dan denda 90000  perhari untuk kelambatan pembayaran.  Kesepakatan antara pengelola PT Margo squre dengan Ilham dilakukan dalam Akte Notaris reymoon eber  No. 40 Tanggal 8/8/2010.

Tetapi perjanjian antara keduanya agaknya hanya tinggal perjanjian. Kewajiban Ilham ternyata tidak pernah dipenuhi, Ilham menganggap kesepakatan itu sekedar formalitas, sehingga tagihan demi tagihan pengelola margo squre tidak pernah dipedulikannya.  Bahkan menurutnya, Akte No. 40 tersebut, tidak berlaku karena pihak margo squre telah membatalkan “Gentlement agreement” dan kesempatan yang diberikan untuk menunda pembayaran.  Hanya sewa ruangan, menurut Ilham akan dibicarakan kembali di akhir tahun 2012. Namun pengelola margo squre berpendapat sebaliknya.  Akte No. 40 tetap berlaku dan harga sewa ruangan tetap seperti yang tercantum pada Akta tersebut.

Hingga 10 Maret 2012, Ilham seharusnya membayar US$245.675,50 dan Rp. 16.564.279,44 kepada PT margo squre.Meski kian hari jumlah uang yang harus dibayarkan untuk ruangan yang ditempatinya terus bertambah, Ilham tetap berkeras untuk tidak membayarnya.  Pengelola margo squre, yang mengajak ilham meramaikan pertokoan itu. Pihak pengelola margo squre menutup ping cell secara paksa.  Selain itu, pengelola margo squre menggugat Ilham di Pengadilan Negeri Depok.

ANALISIS

Setelah pihak PT margo squre mengajak ilham untuk meramaikan sekaligus berjualan di komplek pertokoan di pusat kota Depok, maka secara tidak langsung PT margo squre telah melaksanakan kerjasama kontrak dengan Ilham yang dibuktikan dengan membuat perjanjian sewa-menyewa di depan Notaris. Maka berdasarkan pasal 1338 BW yang menjelaskan bahwa “Suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” sehingga dengan adanya perjanjian/ikatan kontrak tersebut maka pihak PT margo squre dan ilham mempunyai keterikatan untuk memberikan atau berbuat sesuatu sesuai dengan isi perjanjian.

Perjanjian tersebut tidak boleh dilangggar oleh kedua belah pihak, karena perjanjian yang telah dilakukan oleh PT margo squre dan ilham tersebut dianggap sudah memenuhi syarat, sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 1320 BW.Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :

1.            Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2.            Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3.            Suatu hal tertentu;

4.            Suatu sebab yang halal.

Perjanjian diatas bisa dikatakan sudah adanta kesepakatan, karena pihak PT margo squre dan ilham dengan rela tanpa ada paksaan menandatangani isi perjanjian Sewa-menyewa yang diajukan oleh pihak PT margo squre yang dibuktikan dihadapan Notaris.

Namun pada kenyataannya, Ilham tidak pernah memenuhi kewajibannya untuk membayar semua kewajibannya kepada PT margo squre,dia tidak pernah peduli walaupun tagihan demi tagihan yang datang kepanya, tapi dia tetap berisi keras untuk tidak membayarnya.  Maka dari sini Ilham bisa dinyatakan sebagai pihak yang melanggar perjanjian.

Dengan alasan inilah pihak PT margo squre setempat melakukan penutupan PINK CELL secara paksa dan menggugat Ilham di Pengadilan Negeri Surabaya. Dan jika kita kaitkan dengan Undang-undang yang ada dalam BW, tindakan Pihak PT margo squre bisa dibenarkan. Dalam pasal 1240 BW, dijelaskan bahwa .Dalam pada itu si piutang adalah behak menuntut akan penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perikatan, dan bolehlah ia minta supaya dikuasakan oleh Hakim untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatuyang telah dibuat tadi atas biaya si berutang, dengan tak mengurangi hak menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga jika ada alasan untuk itu.

Dari pasal diatas, maka pihak PT margo squre bisa menuntut kepada ILHAM yang tidak memenuhi suatu perikatan dan dia dapat dikenai denda untuk membayar semua tagihan bulanan kepada PT MARGO SQURE.

Leave a comment